Benarkah Musik Dangdut Budaya Indonesia?

Benarkah Musik Dangdut Budaya Indonesia?

Benarkah Musik Dangdut Budaya Indonesia? – Dangdut is the music of my country, lagu yang diciptakan dan dibawakan oleh Project Pop, grup musik asal bandung, ini seolah menegaskan bahwa genre musik dangdut memang merupakan budaya Indonesia.

Seperti halnya budaya, yang semuanya merupakan produk dan praktik pencampuran dan pertemuan masyarakat dari budaya lain. Begitu pun musik dangdut yang kemudian dianggap sebagai musik tradisional Indonesia. idn poker

Dangdut ini adalah hasil pertemuan berbagai musik dari beberapa wilayah di dunia seperti Melayu, Hindustani, dan Arab yang dibawa dan diserap lantas dikolaborasikan menjadi sebuah harmoni musik.

Benarkah Musik Dangdut Budaya Indonesia?

Tidak berhenti disitu dalam perjalanannya kemudian genre musik lain pun turut serta memperkaya komposisi musik dangdut, seperti gamelan tradisional, Rock,Pop,bahkan House Music. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Jadi Dangdut bisa disebut berasal dari berbagai pengaruh musik dunia yang diracik di Indonesia. Dan terus menerus diperkaya dengan aliran musik dari berbagai genre dan etnis.

Istilah “Dangdut” pada awalnya dikenal sebagai musik Melayu. Musisi yang memainkannya biasanya menamakan diri mereka “Orkes Melayu” (OM)

Jenis musik dari kawasan Melayu, khususnya Deli, Sumatera utara, dengan instumen pokok gambus (oud), akordeon, biola dan rebana (bukan gendang).

Terus siapa yang pertama kali memperkenalkan istilah “dangdut” menjadi mendunia seperti sekarang ini. Terdapat beberapa versi terkait hal ini.

Jika Kata Pengantar Hamid Basyaib dalam buku Catatan Pinggir, vol. Ke-12, 2017 menjadi acuan, Goenawan Muhammad-lah yang pertama kali memunculkan istilah ini lewat salah satu tulisannya di Majalah Tempo.

Walaupun ia tak menerangkan tulisan GM di edisi mana, namun yang jelas Majalah Tempo  terbit pertama kali pada tanggal 06 Maret 1971.

Sementara menurut Arief Paderi, Putu Wijaya -lah yang pertama kali menyebut Orkes Melayu ini menjadi istilah dangdut, dalam tulisan Putu Wijaya di Majalah Tempo edisi 27 Mei 1972.

Dalam tulisannya tersebut, Putu menerangkan bahwa lagu Boneka India yang dinyanyikan Ellya Khadam merupakan campuran antara Melayu,India,dan irama dang-ding-dut, yang diringkas kemudian menjadi “dangdut”.

Sejak itu Tempo selalu menyebut Orkes Melayu menjadi dangdut dalam setiap artikel yang diterbitkannya.

Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Rhoma Irama-lah yang  pertama kali mengucapkan istilah musik melayu ini menjadi dangdut.

Saat ia menulis dan menyanyikan lagu yang kita kenal sekarang dengan judul lagu “Terajana”. Lagu yang diciptakannya sekitar tahun 1970 setahun sebelum Majalah Tempo terbit. Awalnya lagu Terajana ini sempat disebut lagu “dangdut” oleh Rhoma, saat ia menggelar pertunjukan di pertengahan 1970.

Kata Dangdut kemudian masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) meskipun kita tak tahu kapan persisnya masuk ke dalam kamus acuan kata dalam Bahasa Indonesia.

Yang jelas dalam KBBI edisi III tahun 2002, disitu tertulis, Dangdut adalah;

“jenis irama musik yang ditandai pukulan tetap bunyi gendang rangkap, yang memberikan bunyi dang pada hitungan ke-4, dan dut pada hitungan ke-1 dari birama berikut.”

Dalam perjalanannya kemudian, musik dangdut, seperti halnya karakteristik sebuah budaya terus mengalami perkembangan dan mulai beasimilasi dengan genre musik lain.

Pada tahun 70-an Rhoma Irama merupakan salah satu motor evolusi musik dangdut pada periode ini. Ia seperti coba menggabungkan dangdut dengan genre musik hardrock dan sedikit funk.

Benarkah Musik Dangdut Budaya Indonesia?

Menurut peneliti Seni Pertunjukan  Asia Tenggara asal University of Connecticut Amerika Serikat, Prof. Matthew Isaac Cohen. Rhoma Irama saat itu mencampurkan komposisi musiknya dengan sentuhan perkusi John Bonham dari Led Zeppelin dalam lagu “Pertemuan” atau sayatan gitar Ritchie Blackmore dalam lagu “Ghibah”.

Memasuki tahun 80-an dan 90-an, walaupun Rhoma Irama masih sangat berpengaruh, namun karena alasan politis khas jaman Orde Baru. Ia tak memiliki kesempatan untuk mengisi acara-acara di televisi.

Nah masuklah kemudian musisi-musisi dangdut seperti Meggi.Z, Camelia Malik, Mansyur. S, Elvi Sukaesih, Muchsin Alatas dan beberapa pedangdut lainya kerap mengisi acara-acara musik di TV sehingga mereka mencapai puncak popularitasnya.

Masa ini, sebagian besar perangkat musiknya masih menggunakan alat-alat musik standar tanpa campur alat musik berbasis komputer.

Nah memasuki pertengahan 90-an alat musik berbasis komputer(syntesizer), mulai meramaikan corak musik dangdut terutama saat melakukan rekaman di studio musik.

Para pedangdut di generasi ini digawangi oleh nama-nama, seperti Evi Tamala, Hamdan Atamimie, Iis Dahlia, Asmin Cader hingga Jhoni Iskandar.

Muncul juga variasi bergaya disko dalam rekaman lagu-lagu Merry Andani, hingga Rama Aipama menjadi pilihan periode ini. Inilah kali terakhir periode emas rekaman berbasis pita kaset dalam merekam lagu, yang kemudian berganti menjadi compact disc.

Masa rekaman pita kaset dan Compact Disc merupakan puncak keemasan bagi para pemusik dangdut. Setelah kemudian masuk teknologi digital MP3 dengan berbagai perangkat digitalisasi musik lainnya, industri musik dangdut mulai menurun.

Nah di masa transisi inilah kemudian muncul sub genre musik dangdut yakni dangdut koplo untuk menyiasati sisi pemasaran bagi praktisi dangdut.

Dangdut Koplo cukup berbeda dengan dangdut-dangdut lainnya di mana tabuhan gendangnya memiliki ketukan lebih banyak dan lebih cepat dari dangdut sebelumnya.

Dan akan lebih bisa dinikmati bila disaksikan secara live, ditambah dengan penyanyinya yang cantik dan berpakaian cukup sexy. Hal inilah yang membuat dangdut masih bisa berkibar di tengah masyarakat.

Selain Koplo, dalam perkembangannya genre musik dangdut melahirkan sub genre lainnya di tahun 2000-an. Seperti Dangdut Sunda, Dangdut Saluang Minang, Dangdut Tarling Cirebon, hingga Dangdut Banjar.

Jelas lah bahwa tak ada budaya yang terkungkung dalam cangkangnya sendiri. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan budaya termasuk musik dangdut yang bisa disebut sebagai budaya milik Indonesia ini.

Ekonomi,teknologi, dan perkembangan komunitas merupakan penyumbang terbesar evolusi budaya musik dangdut di Indonesia.

Menurut Andrew Weintraub, Profesor Ilmu Musik University of Pittsburg AS seperti di nukil dari bukunya yang berjudul Dangdut; Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.

Dangdut adalah suatu bentuk atau cara berkesenian yang mungkin kini paling luwes untuk menerangkan pada masyarakat dunia tentang apa itu Indonesia.

Lebih jauh, Andrew berpendapat,

“dangdut tidak hanya mencerminkan keadaan politik dan budaya nasional. Namun sebagai praktik, ekonomi, politik, dan ideologi, dangdut telah membantu membentuk gagasan tentang kelas, gender, dan etnisitas di negara Indonesia modern.”

tulisnya dalam buku yang dirilis tahun 2012 ini. What ever-lah itu, bagi penikmat dan penggemar dangdut yang penting, Sulingnya suling bambu, Gendangnya kulit lembu, Dangdut suara gendang, rasa ingin berdendang…. Terajana…. Terajana.

Interaksi dengan Musik Lain

Dangdut sangat elastis terhadap pengaruh bentuk musik yang lain. Lagu-lagu dari Barat yang populer pada tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang didangdutkan. Genre dari musik gambus dan kasidah perlahan-lahan hanyut dalam arus cara bermusik dangdut.

Perihal yang sama terjadi pada musik tarling dari Cirebon sehingga yang masih eksis pada saat ini adalah bentuk campurannya: tarlingdut. Musik seperti rock, pop, disko, house bersenyawa dengan baik dalam musik dangdut. Aliran campuran antara musik dangdut & rock secara tidak resmi dinamakan Rockdut.